Hak Angket Hingga Makzulkan Jokowi Terus Disuarakan

Photo of author

PERAKNEW.com – Penggunaan Hak angket untuk mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusut dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 bisa berujung pada Pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah seperti dikutip TEMPO.CO, bahwa alur hak angket berawal dari persetujuan di DPR, lalu berlanjut dengan proses penggunaan hak menyatakan pendapat.

Herdiansyah menyebut, hak menyatakan pendapat itu kemudian akan diuji di Mahkamah Konstitusi yang akan menyatakan adanya pelanggaran serius presiden terhadap undang-undang, “Setelah itu, DPR dapat melakukan proses impeachment,” kata Herdiansyah.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid mengatakan, DPR memang berhak menggunakan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Tapi penggunaan hak tersebut seharusnya dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif, seperti pemerintah, “Bukan untuk menilai atau membahas proses atau hasil Pemilu dengan segala implikasinya,” kata Fahri seperti dikutip Koran Tempo.

Fahri berpendapat, rencana penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu jauh dari prinsip konstitusi. Dia menyebut, Undang-Undang Dasar sudah mengatur penyelesaian sengketa Pemilu melalui Mahkamah Konstitusi atau MK, bukan lewat hak angket, “Jalan ke MK itu mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata dia.

Namun hal berbeda dengan Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi yang menyatakan, bahwa wacana penggunaan hak angket DPR soal kecurangan Pemilu 2024 adalah hal baik. Menurutnya, proses pengusutan melalui legislatif lebih oke daripada mengajukan gugatan pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), “Hak angket ini bagus. Daripada kita ke MK ada pamannya, lebih baik kita ke angket. Cantik,” kata Aboe di Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis, 22 Februari 2024.

Baca Juga : Diduga Dikendalikan di Singapura, Roy Suryo Dorong Audit Forensik Server Sirekap KPU

Dia merujuk kepada Paman Calon Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka yang berada di MK, yaitu Hakim Konstitusi, Anwar Usman. Diketahui, Anwar Usman merupakan hakim yang pernah menjabat sebagai Ketua MK. Saat memimpin lembaga tersebut, Anwar ikut mengabulkan putusan untuk mengubah aturan batas usia peserta Pilpres sehingga Gibran bisa menjadi kandidat wakil presiden. Namun, Anwar dicopot dari posisi Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat dalam proses tersebut.

Maka dari itu, Aboe menyatakan, pengguliran hak angket di DPR lebih pas untuk menindaklanjuti dugaan kecurangan Pemilu 2024. Apalagi, kata dia, partai politik di DPR punya cukup pengalaman menggunakan hak angket, “Angket itu kita sudah ada pengalaman kok. Indah kerjanya, panjang waktunya,” ujar Aboe.

Menurut Aboe, proses hak angket punya kekuatan yang cukup besar jika digulirkan. Dia pun menyatakan PKS siap mendukung inisiatif tersebut di parlemen, “Tinggal tunggu lokomotifnya. Bangsa ini butuh keberanian untuk membenahi situasi saat ini,” kata Aboe.

Adapun tiga partai dari Koalisi Perubahan menyatakan bakal mendukung inisiatif hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Koalisi yang terdiri dari Partai NasDem, PKB dan PKS itu menyatakan bakal menunggu PDIP menggulirkan proses tersebut di DPR.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi I DPR RI RI Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin pun akhirnya angkat bicara soal aspirasi sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk memakzulkan Jokowi.

Baca Juga : Seru! Pengacara Sebut Jaksa Tak Cermat Teliti BAP, Jaksa Sebut Pengacara Dapat BAP Dari Mana?

Seruan pemakzulan datang dari sejumlah tokoh masyarakat, karena Presiden Jokowi dinilai telah melakukan dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Hasanuddin menjelaskan, DPR dan MPR bisa saja mengakomodir aspirasi tersebut dengan menggunakan hak angket tersebut, “Proses pemakzulan presiden memang tidak sederhana, namun tetap bisa dilakukan. DPR dapat mengusulkan hak angket pemakzulan presiden,” kata Hasanuddin dalam keterangannya, Rabu (21/2/2024).

Dia mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, usulan hak angket DPR dapat bergulir apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Bila dilakukan hitung-hitungan, kata dia, setidaknya ada 5 partai politik (parpol) yang bisa saja ingin mengusulkan hak angket pemakzukan Jokowi lantaran merasa dicurangi dalam kontestasi Pilpres 2024. Kelima parpol itu adalah PDIP yang memiliki 128 kursi di DPR, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 19 kursi, Partai NasDem 59 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58 kursi, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 50 kursi.

Apabila ditotal, jumlah kursi mereka mencapai 314 suara. Sedangkan, imbuhnya, partai-partai koalisi pro Jokowi di antaranya Gerindra (78 kursi), Partai Golkar (85 kursi), PAN (44 kursi) dan Demokrat (54 kursi) menguasai total 261 kursi, “Jumlah anggota DPR saat ini 575 orang. Bisa dikatakan dengan situasi politik saat ini, ada 314 suara di DPR yang ingin Jokowi dimakzulkan dan hanya 261 suara pro Jokowi. Bila merujuk UU 17 tahun 2014, di mana keputusan yang diambil harus lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir, maka 314 suara sudah sangat mencukupi,” ujar Hasanuddin.

Dia menambahkan, ada tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya yakni melakukan pelanggaran hukum atau pidana, melakukan perbuatan tercela, dan tak mampu lagi menjadi presiden, “Bisa juga pelanggaran presiden terakumulasi lantaran banyak pelanggaran yang dilakukan itu, dan cawe-cawe pemilu itu dapat dikatakan perbuatan tercela atau pidana,” katanya.

Baca Juga : Pengacara Sebut Jaksa Tak Cermat Dan Minta Terdakwa SHM Dibebaskan

Setelah diputuskan hak angket bergulir, kata dia, panitia khusus (pansus) DPR kemudian melakukan penyelidikan dan membuat kesimpulan. Setelah itu, parlemen mengeluarkan hak menyatakan pendapat yang menyebut bahwa presiden harus diberhentikan. Pendapat ini kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa, apakah benar presiden melakukan pelanggaran atau tidak, “Bila dalam pansus penyelidikan hak angket ini ditemukan bukti-bukti dugaan kecurangan, maka proses selanjutnya dilanjutkan oleh MK,” pungkasnya. (Red)

source