PERAKNEW.com – Partisipasi politik masyarakat pada momentum Pemilu Pilkada Subang 2024 harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu (steakholder).
Demikian diungkapkan Pajar Riskomar kepada Perak, “Hasil pengamatan saya, berkembang dinamika pemikiran-pemikiran sumir dan komunikasi satire pada circle-circle masyarakat menanggapi kompetisi perebutan kursi kekuasaan pada perhelatan pemilu pilkada kali ini. Ironi memang, perhelatan pesta rakyat yang notabene riang gembira, tetapi tidak terkorelasi secara faktual,” ungkap Pajar, pada Senin (04-11-2024).
Lanjut Pajar menyebutkan, “Bahkan diselimuti kepekaan politik yang di luar batas kewajaran. Terbangun doktrin pembatasan interaksi sosial antara individual dan satu kelompok oleh kelompok lainnya. Memang, persoalan tersebut menurut sistem demokrasi dapat dibenarkan atau bahkan merupakan suatu kebenaran. Karena prinsip demokrasi adalah persaingan. Skemanya, eksplorasi kepentingan dengan mengeksploitasi masyarakat untuk meraih kemenangan dan kekuasaan,” ujarnya.
Pajar Riskomar menegaskan, bahwa Fakta di atas harus dapat menjadi pengaruh kuat bagi masyarakat untuk mempertimbangkan kembali kesadaran partisipasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung.
Akan tetapi patut juga kita hargai dan pertimbangkan kinerja penyelenggara pemilihan umum dan pemerintah daerah yang telah bahu-membahu melaksanakan proses tahapan-tahapan agar pemilu pilkada berjalan dengan baik, aman dan sukses. Karena kita telah diberikan ruang untuk menentukan kewajiban dan melaksanakan haknya. Walaupun tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi sesuatu hal yang fundamental.
Baca Juga : Akselerasi Ekosistem Kendaraan Listrik, SPKLU PLN di Jabar Semakin Menjamur
Spektrum geopolitik Kabupaten Subang patut diduga akan mengalami deviasi kesadaran. Jika legitimasi fungsi dan peran masyarakat hanya dipandang sebagai objek “pemuas” syahwat politik para pemburu entitas kekuasaan semata. Motivasi implementatifnya meraih kemenangan dan kekuasaan. Tidak berpikir efek negatif terhadap tatanan sosial kemasyarakatan akibat dari penyelenggaraan pilkada. Inilah ilustrasi “figur pemimpin oportunis” yang tidak memiliki nilai-nilai etika dan moral ketika menjalankan kekuasaannya.
Nilai-nilai kualitatif objektif bergeser menjadi kuantitatif subjektif. Bahkan bertumbuh justifikasi bersifat sentimen negatif terhadap kebenaran. Oleh karena itu, idiom “Pesta rakyat” hanyalah iming-iming dan angan-angan yang berkarakter manipulatif. Melalui framing marketing produk demokrasi yang tak jelas arah tujuan. Sebab demokrasi bukanlah produk dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana PANCASILA yang merupakan AZAS Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hakikat pemimpin adalah manusia pilihan yang terpilih, mumpuni segala hal, terpercaya, patut dan layak. Memiliki jiwa patriotisme yang berkeadilan sosial dan bijaksana serta memiliki karakter kepemimpinan dan semangat menjaga harmonisasi interaksi sosial dalam koridor persatuan dan kesatuan yang berperikemanusiaan, adil dan beradab serta berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sehingga terwujud pemimpin yang penuh keteladanan dan Rahmatan Lil’Alamin.
Baca Juga : Viking Subang Dukung Reynaldy-Agus Jadi Bupati & Wabup Subang
“Harapan saya, pemerintah pusat dapat menegakkan kembali sistem PANCASILA secara murni dan konsekuen. Batalkan Amandemen UUD Tahun 2002, kembali ke-UUD 1945 yang ASLI. Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan lagi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), agar tidak ada lagi konflik sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Karena sistem sekarang ini telah membawa Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang pecundang. Sirna sudah nuansa kebersamaan, gotong royong, kedamaian, kenyamanan dan toleransi. Kenapa demikian?/Karena kita seringkali dihadapkan pada momentum-momentum pemilu langsung yang amat sangat berpotensi pada perpecahan. Jujur, harus disadari dan diakui,” pungkas Pajar Riskomar menerangkan. (Red)
source